Belajar Complaint Handling dari Tukang Semir Sepatu – Sekitar 3 dekade yang lalu, sampai saat ini saya masih ingat detail pengalaman berharga yang tidak mungkin saya dapat di sekolah ataupun kuliah. Ketika saya masih SMP diawal tahun 1990-an, saya sempat mencicipi profesi sebagai seorang tukang semir sepatu, ya tukang semir sepatu. Di masa itu semir sepatu instant tidak ada, adanya masih semir sepatu manual yang proses semirnya beberapa tahap.
Singkat cerita, baru sekitar satu pekan saat itu saya menyemir di bilangan Pasar Rumput, sekitar Manggarai, Jakarta Selatan. Ya walaupun saat itu saya termasuk anak Jaksel, cuma hidupnya saya nyaris tidak pernah menikmati privilege sebagai anak Jaksel seperti remaja jaman now. selama sepekan itu semua customer yang saya semir sepatunya tidak pernah komentar apa pun, dan tetap memberikan saya upah semir kisaran dua hingga tiga ratus rupiah saat itu. Lumayan, saat itu es doger di pasar rumput masih bisa didapat dengan harga lima puluh rupiah, seporsi nasi warteg pun masih kisaran harga seratus hingga dua ratus rupiah. Itu jadi menu makan siang saya sehari-hari.
Nah, pada suatu ketika saya keliling menjajakan semir sepatu saya ke toko di area lantai dasar pasar rumput. Sampailah saya di depan toko jam di lantai itu, saya pun menawarkan jasa semir saya. Sang tuan toko pun menyambut baik dan memberikan sepatunya kepada saya untuk disemir. Saya pun menyemir sepatu itu dengan segala pengetahuan yang saya miliki tentang semir sepatu. FYI, saat itu saya baru sekitar dua pekan berprofesi sebagai tukang semir. Sepekan pertama saya menyemir di bilangan Jl. Dr. Saharjo dan Pasar Minangkabau, namun karena sepi, saya disarankan oleh salah satu pedagang untuk menyemir di pasar rumput, yang kata beliau lebih ramai. Dan memang terbukti jauh lebih ramai customernya.
Baca juga : Leadership Training
Selesai sudah saya menyemir sepatu Sang Tuan Toko, kemudian saya berikan sepatunya kepada beliau. Bak disamber geledek, beliau berucap, “Lho, ini udah disemir belum?”. “Sudah Om”, jawab saya. Sang Customer berujar, “Waaah, lho gak bisa nyemir nih!”. Saya pun membalas ujarannya, “Bener om, sudah saya semir. Coba pegang dan cium bau semirnya”. “Hmm.. keknya memang lho gak bisa nyemirnya nih, lho ada perlengkapan semirnya kan?” tanya Sang Tuan Toko, sambil menyebutkan satu-satu perlengkapan semir. Saya pun menjawab, “Iya Om, ada semuanya”. “Ayo sini!”, Beliau mengajak saya ke depan tokonya sambil duduk di trotoar depan tokonya. “Ada lap bersih dan air bersih?” tanya si Om. “Ada Om, ini”, jawab saya sambil menyerahkannya. Ia pun mencelupkan lap bersih ke wadah air saya, kemudian membersihkan kembali semua kulit luar sepatunya. “Yaa om, jadi luntur semirnya”, ujar saya. Si Om menjawab, “Dah liat aja”. Saya pun dengan sabar dan cermat memperhatikan apa yang dilakukan si Om.
Setelah dibersihkan kulit luarnya kemudian si Om menjemur sepatunya sampai kering. Kemudian dia berkata, “Mana semir dan sikat semirnya?” “Ini Om” jawab saya sambil memberikan peralatan semirnya. Ia pun langsung mencolek semir dengan ujung bulu sikatnya dan mulai melumuri kulit sepatu dengan semir hingga tepian solnya. Dia jemur kembali sepatunya, hingga semir itu menyerap kulit sepatu. Dia bertanya lagi, “Lho ada sikat bersih dan lap bersih?” “Ada om”, saya berikan sikat bersih itu ke si Om. Kemudian, Sang Tuan Toko, kembali menyikatnya dengan sikat dan menuntaskannya dengan lap bersih. Woow hasilnya tak terduga bagi tukang semir pemula seperti saya. Saya tidak pernah melihat sepatu yang mengkilap luar biasa seperti itu.
Baca juga : Managerial Training
“Nah, dah kelar nih. Mengkilap kan?”, kata si Om. “Iya Om, mengkilap banget”, jawab saya sambil terperangah. “Ok, gw masuk ya”, ujarnya sambil membawa sepatunya yang telah mengkilap kinclong ke tokonya. Saya pun mengikutinya ke dalam sambil meminta upah, “Om uang semirnya mana?”. Tanpa saya sangka dan terkejut saya mendengarnya,”Waduh, lho masih minta bayaran juga. Gue yang nyemir sepatunya dan udah ajarin lho nyemir!” Mungkin rerata tukang semir usia SMP saat itu akan kecewa mendengar jawaban Sang Customer, namun tidak dengan saya. Saya pun menjawab dengan ceria, “Iya Om, makasih banyak ya Om.” Saya tinggalkan si Om dan Toko Jamnya dengan senang dan hati gembira. Buat saya itu merupakan anugerah dalam karir saya sebagai seorang tukang semir. Dan pengalaman itu membentuk mental dan karakter saya dalam menghadapi pelanggan hingga kini.
Kisah pun berlanjut.. sepekan kemudian, saya datang lagi ke Toko Jam itu sambil menawarkan jasa semir saya lagi. “Om.. semir Om!”, teriak saya. “Emang lho udah bisa nyemir?”, challenge si Om. “Bisa dong Om, kan udah diajarin”, ujar saya sambil tersenyum. “Bener ya, kalo gak mengkilap, gak gue bayar!”, tantang si Om. Saya pun menjawab tantangannya, “Iya Om, liat aja hasilnya nanti”. Si Om pun memberikan sepatunya kepada saya, dan saya pun menyemir sepatu si Om dengan skill yang dibekali Sang Customer sepekan lalu.
Selesai menyemir, saya memberikan sepatu itu kepada si Om, sambil berkata, “Gimana Om mengkilapkan?” Si Om menjawab, “Lumayan, tapi okelah lho udah bisa nyemir nih”. Si om menerima sepatunya sambil memberikan upah dua ratus rupiah. “Terima kasih, Om” ujar saya sambil teriak ceria. Setelah, skill saya meningkat penghasilan harian saya pun meningkat secara rata-rata 50%, dari dua ribu rupiah sehari menjadi tiga rupiah sehari. FYI, Kurs Dolar terhadap Rupiah saat itu masih kisaran Rp 1.800 – 1.900 per USD.
Nah, dari kisah nyata tadi, banyak hal yang bisa kita petik hikmahnya, tentang
1. Bagaimana kita sebagai penjual melayani pelanggan,
2. Menangani keluhan pelanggan,
3. Menerima masukan pelanggan secara positif,
4. Belajar dari kesalahan,
5. Memperbaiki kinerja atas masukan pelanggan tersebut,
6. Melayani pelanggan yang komplen lebih baik lagi,
7. Meningkatkan penjualan dari peningkatan performa tadi.
Untuk informasi seputar training dan konsultansi silahkan menghubungi
website : www.imtiyazlearnings.com