Program training ~ Imtiyaz Learnings |Bayangkan kamu ikut training yang dari awal sampai akhir bikin kamu terhubung, tertantang, dan termotivasi. Materinya relate, trainernya keren, dan selesai training kamu langsung pengen eksekusi ide baru. Sounds like a dream? Faktanya, training seperti ini bukan mitos—asal tahu resep suksesnya.
Di tengah laju perubahan dan ekspektasi kerja yang tinggi, generasi Z profesional nggak cuma butuh training yang keren di atas kertas. Mereka butuh program yang terasa nyata, aplikatif, dan punya vibe yang bikin semangat tumbuh bareng.
Di artikel ini, kamu akan diajak membedah rahasia di balik training yang benar-benar berdampak. Bukan teori, tapi insight konkret dari dunia kerja masa kini. Let’s dive in and level up your learning journey!
1. Dukungan Manajemen: Bukan Sekadar Approval, Tapi Hands-on Leadership
Salah satu faktor paling krusial dalam kesuksesan program pelatihan adalah komitmen manajemen. Namun, dukungan ini tidak boleh berhenti pada tahap menyetujui anggaran. Manajemen yang benar-benar peduli akan terlibat secara langsung:
- Ikut serta dalam menyusun arah strategis training
- Hadir di pembukaan atau penutupan pelatihan untuk memberikan semangat
- Memonitor hasil implementasi pasca training
- Memberikan feedback terhadap output pembelajaran
Bagi Gen Z, kehadiran manajemen menunjukkan bahwa pembelajaran dihargai dan bahwa pelatihan bukan sekadar formalitas.

2. Vendor Training yang Kapabel dan Sejalan dengan Budaya Perusahaan
Tidak semua vendor cocok untuk semua organisasi. Kapabilitas teknis penting, tapi lebih dari itu, vendor juga harus mampu memahami budaya, karakteristik peserta, serta konteks industri yang sedang dihadapi. Ciri vendor training yang kapabel untuk Gen Z:
- Menguasai konten sekaligus mampu menyampaikan dengan storytelling dan metode interaktif
- Melek teknologi dan mengadopsi platform digital dalam proses training
- Terbuka berkolaborasi dengan internal user untuk merancang studi kasus spesifik
- Memahami dinamika generasi muda dan mampu membangun koneksi dengan peserta
3. Kurikulum dan Silabus yang Relevan dengan Tantangan Nyata
Gen Z profesional tidak menyukai pembelajaran yang teoritis, terlalu normatif, atau jauh dari realita kerja. Mereka ingin:
- Konten yang aplikatif dan langsung bisa digunakan dalam tugas harian
- Studi kasus yang autentik dan sesuai dengan tantangan di divisi mereka
- Modul yang ringkas tapi penuh insight
- Struktur yang fleksibel namun terarah
Desain kurikulum yang baik dimulai dari proses Training Needs Analysis (TNA) yang tajam, bukan sekadar asumsi atau template tahun lalu.
4. Trainer yang Ahli dan Berpengalaman Praktis
Trainer adalah wajah dari program training. Trainer yang hanya menguasai teori akan sulit membangun kredibilitas di hadapan peserta Gen Z yang kritis dan berorientasi hasil. Trainer yang efektif adalah:
- Praktisi yang sudah mengalami tantangan nyata di lapangan
- Mampu menyampaikan materi dengan storytelling yang memukau
- Fleksibel menjawab pertanyaan yang “off script” dari peserta
- Mampu mengajak diskusi, bukan menggurui
- Aktif menciptakan simulasi dan role-play yang realistis
Trainer yang kuat mampu mengubah kelas menjadi arena pembelajaran yang hidup.
5. Kolaborasi Aktif dari User (Divisi/Departemen Terkait)
Seringkali pelatihan hanya dikoordinir oleh tim HR atau L&D. Padahal, user yang paling memahami konteks pekerjaan seharusnya:
- Terlibat dalam menyusun kurikulum
- Memberikan insight tantangan yang sedang dihadapi
- Membantu merancang simulasi atau studi kasus spesifik
- Memonitor perubahan perilaku pasca pelatihan
Pelatihan yang melibatkan user akan jauh lebih tajam, aplikatif, dan berkelanjutan.
6. Evaluasi Hasil Training yang Berdampak
Kesuksesan training tidak cukup hanya dengan mendengar komentar seperti “seru”, “asyik”, atau “materinya menarik”. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh dan sistematis. Salah satu pendekatan yang relevan adalah Model Kirkpatrick:
- Reaction – Apakah peserta merasa pelatihan menyenangkan dan relevan?
- Learning – Apakah peserta memahami dan mampu menjelaskan konsep utama?
- Behavior – Apakah ada perubahan perilaku dalam pekerjaan sehari-hari?
- Result – Apakah pelatihan berdampak pada kinerja tim dan organisasi?
Untuk organisasi yang ingin lebih detail, bisa menambahkan ROI Training Analysis seperti pada model Phillips, untuk mengetahui efisiensi anggaran yang dikeluarkan.
7. TNA (Training Needs Assessment) yang Akurat
TNA yang solid akan menjawab pertanyaan: “Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh peserta?”. Metode yang bisa digunakan antara lain:
- Observasi kerja langsung
- Interview atasan dan peserta
- Data KPI dan performa
- Survey atau self-assessment
Tanpa TNA yang benar, pelatihan akan salah sasaran dan kehilangan relevansi.
8. Desain Pembelajaran yang Inovatif
Gen Z menyukai:
- Microlearning: potongan materi pendek yang padat dan mudah dicerna
- Gamification: pelatihan yang melibatkan game, tantangan, atau leaderboard
- Simulasi digital atau role-play nyata
- Collaborative learning: kerja kelompok, diskusi, studi kasus
- Digital tools: Miro, Kahoot, Mentimeter, dan LMS interaktif
Bosan dengan PowerPoint biasa, Gen Z menginginkan pengalaman belajar yang serasa hidup.
9. Keterlibatan Peserta yang Aktif
Partisipasi aktif jauh lebih penting daripada hanya hadir. Cara mendorong keterlibatan:
- Memulai sesi dengan “ice breaking relevan”
- Memberi tantangan kelompok yang bersifat kompetitif
- Mendorong peserta untuk berbagi pengalaman atau insight pribadi
- Menggunakan polling, kuis, atau breakout room
10. Integrasi Hasil Pelatihan ke Dalam Pekerjaan
Training bukan event, tapi proses. Agar hasilnya nyata:
- Tugas akhir berupa proyek implementasi
- Post-training coaching oleh atasan langsung
- Logbook atau action plan yang dimonitor mingguan
- Evaluasi 1 bulan dan 3 bulan pasca pelatihan
Pelatihan yang tidak dilanjutkan akan cepat dilupakan.
11. Indikator Keberhasilan yang Jelas
Sukses harus bisa diukur. Misalnya:
- Penurunan kesalahan kerja (error rate)
- Peningkatan customer satisfaction score
- Efisiensi waktu atau biaya
- Kenaikan closing rate bagi tim sales
Setiap program harus punya training KPI yang spesifik dan sesuai fungsi kerja.
12. Budaya Belajar di Organisasi
Organisasi yang punya learning culture kuat akan mendorong pelatihan sebagai bagian dari perjalanan karier. Ciri organisasi yang punya budaya belajar:
- Memberi waktu untuk belajar
- Mendorong diskusi lintas tim
- Apresiasi terhadap pembelajaran dan pengembangan
- Fasilitas pembelajaran yang lengkap (LMS, akses konten digital, mentorship)
13. Follow-up dan Reinforcement
Beberapa strategi penguatan pembelajaran:
- Sesi booster 1 bulan setelah training
- Grup WhatsApp alumni pelatihan
- Sharing session lintas batch
- Kuis dan sertifikasi
- Tantangan implementasi lapangan
Penutup: Bukan Sekadar Training, Tapi Transformasi
Bagi Gen Z profesional, training bukan hanya soal belajar. Ini soal bagaimana mereka merasa dihargai, diberi ruang bertumbuh, dan dilibatkan dalam perjalanan transformasi organisasi. Maka, sukses sebuah program training bukan hanya tanggung jawab HR atau trainer, tapi juga manajemen, user, dan peserta itu sendiri.
Dengan pendekatan yang holistik, berbasis data, dan penuh empati terhadap kebutuhan peserta, pelatihan akan menjadi arena pertumbuhan — bukan hanya pengulangan teori. Inilah saatnya membangun ekosistem pembelajaran yang berdampak nyata.
Last but not least, semua adalah bagian dari ikhtiar kita sebagai profesional, namun kesuksesan itu tak akan terjadi tanpa izin dari Yang MahaKuasa penentu segalanya.
Checklist Sukses Program Training untuk Gen Z Profesional:
- Manajemen terlibat aktif?
- TNA dilakukan dengan benar?
- Kurikulum aplikatif dan relevan?
- Trainer berpengalaman praktis?
- User berkolaborasi dalam program?
- Metode pelatihan inovatif dan engaging?
- Evaluasi berbasis outcome?
- Ada follow-up pasca training?
Kalau semua checklist terjawab “ya”, maka training Anda bukan hanya sukses — tapi juga transformatif.
PENULIS
Doddy Ariesta Afriyana, SE, C.HRM, C.Trainer, C.SLII, C.SoT, C.NLP, C.PI Analyst
Doddy is a leadership and sales practitioner, human resources practitioner, and businessman, as well as a training master for Salesmanship, Sales management, and Sales Leadership training at Imtiyaz Learning & Consulting, who has 6 certifications ranging from sales, soft skills, leadership, training, personality profiling, and human resources from reputable national and international institutions.
Doddy has worked in a variety of industries for over 22 years, including the restaurant industry, software and application development, FMCG, Oil and Gas, Pharmacy, Direct Selling, MLM, Automotive, SME, and Start-Up. Extensive and in-depth experience in local, national, and multinational corporations within the scope of his position roles on a local, national, and global scale.
He began his career as a marketing executive at a Software & Application Development company, as well as a Head of Professor Assistant Corps at FEB UI, after graduating from the Faculty of Economics & Business University of Indonesia (FEB UI). His career progressed until he was trusted to become Head of Area, Assistant Manager, Manager, and General Manager in various national and multinational companies. His previous position before deciding to start a learning consulting firm was General Manager Learning & Development at Renault Indonesia and GM HRD & Business Development at start up Blimobil Indonesia.
–0–